“Karena ku mencintaimu..
Ingin ku ganti darahku dengan namamu. Sebab sebagian besar tubuh manusia terdiri dari darah.
Kamu bisa bayangkan bagaimana jika diriku hidup tanpa darah? setidaknya begitulah hidupku jika tiada kamu di hidupku.
Karena ku mencintaimu..
Ingin ku ganti jantungku dengan dirimu. Yang mana setiap detaknya adalah kasih sayang.
Sehingga kelak kau tahu alasanku meninggal; jantungku berhenti berdetak.
Karena ku mencintaimu...”


“udah woy, udah !” sentak Dinda yang ngebuat gue berhenti bersajak. “itu sajak apa persentase pelajaran biologi sih?” lanjutnya.
“oh Adinda.. Bunuh saja aku di semak-semak” gue kembali bersajak “sebab apalah aku jika tanpamu.”
“apalah kamu? Kamu adalah undur undur yang memaksa berjalan maju demi meraih cinta.” Balas Dinda.
“tak apa jika..”
“udah ah, udah !” sergapnya yang sontak ngebuat gue berhenti. “udah mulai ngaco, nih.”
“yaudah, gue udahan.” Gue meng-iya-kan.
“eh, Tong. Minggu depan dateng yah ke ultah gue.”
“minggu depan? Jam berapa?” tanya gue.
“jam 8 malem.”
“oke. Tapi kok lu ngundangnya gak pake surat undangan sih?”
“yaelah, kayak anak SD aja. Terus pake topi ulang tahun, pulangnya masing-masing bawa se-pelastik jajanan.” Jawabnya males.
“iya juga sih.”
“yaudah ya, gue ada kegiatan di kampus. Jangan lupa yah, minggu depan jam 8 malem.”
“siap, bos.” Gue meng-iyakan sebari membuat gerakan hormat. Setelahnya Dinda melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gue. Dia menaiki elang, lalu menghilang begitu saja dari jangkauan mata.
Minggu depan, ulang tahun, itu adalah waktu yang tepat buat nembak Dinda, gue pikir.
Oh, ya. Beberapa minggu kemaren gue kenal sama Dinda pas acara lomba baca puisi di kampus. Waktu itu gue jadi panitia, lebih tepatnya panitia tukang bongkar pasang kursi. Tugas gue Cuma angkat kursi, terus disusun serapih mungkin. Dan pada hari itu gue melaksanakan tugas dengan sangat baik.
Lomba baca puisi itu diikuti lumayan banyak peserta, setidaknya ada 30 mahasiswa berpartisipasi dalam lomba tersebut. Pada hari itu, acara sedang berlangsung hikmat, sudah 10 peserta yang bergantian naik-turun panggung untuk membacakan puisi mereka. Menjelang peserta ke-11, atau detik-detik akhir puisi peserta ke-10, gue dipanggil sama Yanto, ketua panitia pelaksana lomba, buat ngebawa 2 kursi lagi ke dalem karena ada 2 orang penonton yang gak kebagian kursi. 2 kursi gue bawa ke bagian paling belakang yang diikuti wajah gembira dari 2 orang cewek yang dari tadi mengharapkan sebuah kursi singgah di hadapan mereka agar bisa duduk.
“ini mbak, silakan duduk.” Ujar gue mempersilakan ke-dua cewek itu duduk.
“makasih, Mas.” Ucap salah satu dari mereka.
Setelah mereka duduk, gue menepuk pundak cewek salah satunya, lalu menggesek-gesekan jari jempol dan telunjuk gue ke-dia, yang artinya: minta uang tip.
Cewek itu melirik bingung ke arah gue “apa sih, Mas?” namun gue menjawab dengan lagi-lagi menggesek-gesekkan jempol dan telunjuk gue. Tapi cewek itu tetep aja gak ngerti maksud gue. Kamrpet.
Karena cewek yang tadi gue pinta tip gak ngerespon positif, gue berniat meninggalkan ruangan. Tapi niat melangkahkan kaki terhenti saat MC memanggil nama peserta ke-11. “peserta ke-11, Adinda..”
Widih, Adinda.. keren amat namanya, pikir gue. Dan seketika juga gue memutuskan buat melihat cewek bernama Adinda itu membacakan puisi.
Kata demi kata, bait demi bait, berhasil keluar dari mulut Adinda yang menghasilkan sesuatu yang sangat luar biasa indah. Secara gak sadar, gue memegang erat tangan seseorang di sebelah kanan gue, yang gak tau itu siapa.
“indah.. sekali..” gumam gue sambil memegang tangan itu. “wahai Dewi penyair, bunuh saja aku di semak-semak dengan kalimat-kalimat indahmu itu.”
Setelah mengatakan itu, tangan yang gue genggam itu mengeras, mempererat pegangannya. Seketika gue menoleh ke samping untuk mengetahui tangan siapa yang gue pegang. Alangkah terkejutnya gue pas tau siapa orang yang tangannya gue pegang dari tadi.
Pak Jumino, Dosen mata kuliah bahasa Indonesia.
“indah sekali bukan?” tanya Pak Jumino.
“maaf, Pak. Maaf udah remes tangan Bapak.” Ucap dengan nada takut.
“tidak papa.” Jawabnya diikuti dengan senyum yang sangat manis. Kepalanya yang bulat, pipinya yang cabi, ngebuat gue gak nahan pengen nyubit.
Gue membalas senyum beliau dengan tak kalah manis. Beberapa saat kemudian kami saling tatap-tatapan, mengeluarkan pesan ketertarikan satu sama lain. Tak lama kemudian kami berciuman.
NJIR ! oke, lupain tentang Jumino. Dan ciuman tadi. Dan... pipinya yang cabi ngegemesin.
Seusai acara lomba puisi, gue menghampiri Adinda yang sedang murung karena gak bisa menangin lomba tersebut. Gue mendekat, lalu membuka pembicaraan dengan nanda suara yang dimirip-miripin sama Zainudin di film tenggelamnya kapal van der wijck.
“hey, Adinda. Mengapa kau terlihat begitu murung?”
Dia menoleh ke arah gue lalu terlihat ketakutan. “pergi kau roh jahat ! jangan dekati aku. Pergiiii !”
“tenang Adinda.” Ucap gue masih dengan logat Zainudin “lepaskan saja semua belenggu yang berada di dirimu. Lepaskan. Lepaskan.”
Si Adinda malah teriak, “tolooong ! saya mau diperkosa sama orang ini ! tolooong !”
Seketika semua orang menoleh lalu mendekat. Sekelompok laki-laki berwajah mesum ngeliatin gue.
“apa yang kau lakukan dengan wanita itu?” tanya salah seorang dari mereka.
“enggak. Ini..” jawab gue terbata-bata.
“maksud saya..” dia terdiam lalu melanjutkan “kalau kamu mau. Masih ada kami, tidak perlu wanita itu.”
Gue bingung “maksudnya..?” namun para lelaki itu tidak menjawab, mereka malah memandang gue dengan tatapan mesum. Seketika gue sadar, para lelaki hidung belang itu akan memperkosa gue ! gue pun kabur dari kerumunan itu.
Besoknya gue ketemu Dinda, ngejelasin semuanya, bahwa kemaren Cuma salah paham. Dia pun mengerti. Setelah itu kami ngobrol banyak hal, menceritakan satu sama lain. Dan sejak itu gue jadi tau kalo Dinda menyukai sastra. Tokoh idolanya antara lain : Dewi Lestari, Chairul Anwar, WS Rendra, Acep Zamzam Noor, dan masih banyak nama yang gak bisa gue hafal. Tapi tokoh yang paling dia suka adalah Farhat Abbas ! lho kok?

Pikiran gue kembali pada ulang tahun Dinda. Memikirkan kado apa yang bakal gue kasih di hari spesialnya. Gue mencoba meminta saran sama temen-temen gue, temen SD, temen arisan, temen SD nyokap yang doyan arisan. Pokoknya semuanya. Gue mengirimi mereka SMS : hey, aku hampir diperkosa segerombolan cowok homo, lho.. (GAK NYAMBUNG)
Dari sekian orang yang gue SMS, Cuma satu orang yang ngebales : si Ajis.
Udah biasa, coeg. Balasnya di SMS.
Tanpa basa-basi, gue menceritakan keluhan gue, tentang Adinda, dan saran tentang kado apa yang harus gue kasih di hari ulang tahunnya.
Si Dinda kan suka sastra, kenapa gak lu bikinin aja dia puisi. Balas si Ajis.
Tapi gue gak bisa, Jis.
Kalo begitu lu minta tolong sama orang yang tepat ! gue paling jago bersajak sejak kecil. Gue dilahirkan untuk itu. Jawabnya seakan dia adalah dewa puisi. Tapi gue gak yakin itu bakalan berhasila apa enggak.
Oke, ntar malem gue ke rumah lu. Akhirnya gue setuju.

Malamnya gue ke rumah si Ajis, kami bersama-sama menyusun kata demi kata agar menghasilkan dinamika yang sangat indah. Setelah beberapa jam, puisi itupun selesai.
“yakin nih puisinya bagus?” tanya gue gak yakin.
“iya.” Jawabnya tanpa nada ragu. “abis lu bacain puisi, lu tembak deh si Dinda.” Dia menyarankan.
Gue menyetujui saran itu dengan sebuah anggukan.
*
Singkat cerita, hari besar itu pun tiba. Gue udah mempersiapkan segalanya, mulai dari puisi, dan mental.
Gue datang sedikit terlambat, acaranya udah digelar sekitar setengah jam yang lalu, karena kue ulang tahunnya pun udah dipotong.
Dinda berdiri di tengah halaman depan rumahnya tepat di sebelah kue ulang tahun yang sudah terpotong. Gue menghampiri dengan tergesa-gesa, sampe-sampe gue nabrak lelaki tak dikenal hingga kami berdua terjatuh.
“maaf, Mas.”
“iya, gapapa.” Timbalnya ramah. Setelah gue bangun gue langsung menghampiri Dinda yang keliatan cantik dengan gaun putihnya.
“sori, Din. Gue telat.”
“iya, gak papa.” Ucapnya seakan mengampuni.
“Din, gue punya sesuatu buat lu.” Ucap gue yang kedengeran yakin.
“apa?”
Gue mengambil secarik kertas di saku kemeja gue. Tapi gak ada. Yang ada Cuma kertas tagihan dari si Bunda kantin. Gue terus mencari tapi tetep gak ada. Gue mulai mencari-cari dari kantung baju sampe kantung celana, lalu pindah ke kantung baju orang lain, tetep gak ada. Gue nyari lagi ke kantung celana Bapak-bapak di pesta itu, dan gak ada juga. Yang ada gue malah hampir ditinju sama Bapak itu, karena ternyata Bapak itu gak lain adalah Bapaknya si Dinda.
Gue terus meyakinkan bahwa gue menaruh selembar kertas berisi puisi itu di kantung kemeja gue sebelum gue berangkat ke rumahnya si Dinda. Tapi kertas itu tidak nampak di saku kemeja gue.
Dinda masih memperhatikan gue yang dari tadi keliatan kikuk mencari sesuatu.
“wah, Din. Kayaknya ketinggalan deh.” Ujar gue memelas. Dinda keliatan kecewa.
Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tadi tabrakan sama gue saat akan menghampiri Dinda. Dia membawa selembar kertas putih, mirip sama kertas puisi gue yang ilang entah kemana.
Laki-laki itu berucap sambil membaca sesuatu yang tertulis di kertas itu.
“kini tibalah hari yang aku tunggu
Hari dimana kamu dilahirkan delapan belas tahun lalu
Hari ulang tahunmu..
Orang yang selalu aku puja selama ini

Tiada yang ku berikan padamu
Selain do’a dan rasa cinta yang tulus
yang semoga akan selalu memeberimu warna bahagia
dalam setiap jejak waktu yang selalu mengiringi langkahmu

Aku berdoa
Agar Tuhan senantiasa mengirim malaikatnya untuk menjagamu di setiap langkahmu
Karena ku sadar, aku tak bisa menjagamu seutuhnya
Meskipun aku berusaha seperti itu

Selamat ulang tahun, Adinda.”

Gue lirik ke arah Dinda, dia keliatan senang, seolah meleleh karena rangkaian kata-kata itu.
Seketika gue tau, itu adalah puisi yang gue tulis bareng sama si Ajis buat kado ulang tahunnya Dinda. Tapi kok, kenapa bisa sama dia? Pikir gue. Lalu gue sadar, mungkin kertas itu jatuh saat gue tabrakan sama orang itu, lalu dia ambil puisi gue. Keji.
Gue berniat memberi tau Adinda kalo puisi yang dibacakan lelaki tadi adalah puisi yang gue tulis. Tapi, belum sempet gue beraksi, lelaki itu melangkahkan kakinya lebih dekat ke Dinda, lalu memegang tangan Dinda.
“Adinda, mau gak jadi pacar aku?” tembak si lelaki.
Dinda memamerkan senyum bahagia, matanya bersinar menatap mata lelaki itu dengan penuh keyakinan. Sebuah anggukan kepalanya sudah jelas memberi tanda bahwa ya, aku mau.
Mulut gue membeku, kaki terasa berat seperti ditahan besi jutaan ton, sehingga untuk melangkahpun tak bisa. Seketika gue mematung.

Denganmu, jatuh cinta adalah keikhlasan yang memaksa, walau yang kau sajikan hanya duka.
Bahagialah dengannya, anggap remuk jantungku sudah biasa.
Denganmu, jatuh cinta adalah kematian yang tinggal menunggu waktu.
Ajari dia cara tertawa seindah senyum yang setiap hari merekah di bibirmu.
Denganmu, jatuh cinta adalah kesakitan yang disengaja.
Sebab, tiada lagi keindahan yang menyakitkan selain mencinta seorang yang tak membalas cinta.

Sehat-sehatlah selalu, makan teratur, dan teruslah tersenyum agar aku tau, kau tengah bahagia dengannya.
Selamat ulang tahun, Adinda.